Hai
sobat kawula muda semua, kali ini saya ingin membahas salah satu suku di
Indonesia yang sudah terkenal sampai ke mancanegara karena kebudayaannya yang
masih terjaga, unik dan menarik untuk dibahas. Toraja sangat menarik, dengan
panorama alam yang indah menambah menarik suku ini. Apabila diberi kesempatan
dan rizki yang lebih sayapun ingin mengunjunginya. Amien.. hahaha
Yuk, mari
kita bahas suku ini.
Suku
Toraja adalah
suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.
Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja
memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan
animisme yang dikenal sebagai Aluk
To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian
dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti
"orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda
menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Kepercayaan
Seperti
sudah dijelaskan di awal tadi suku toraja saat ini mayoritas memeluk agama
Kristen, dengan sebagian Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal dengan
Aluk To Dolo yang diakui pemerintah Indonesia sebai bagian dari agama Hindu
Dharma. Awalnya sebelum abad ke - 20 Suku Toraja masih memeluk ajaran animisme.
Namum saat kolonial Belanda masuk pada tahun 1900 an kolonial Belanda melalui
misionarisnya mengenalkan ajaran Kristen kepada suku toraja ini dan akhirnya
sampai sekarang menjadi agama Mayoritas suku toraja ini. Pengen tau lebih
jelas tentang sistem kepercayaan ini ? Oke saya jelaskan, hahaha
Sistem
kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik
yang disebut aluk, atau
"jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos
Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang
kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan denganPuang
Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas
(Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan
tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi
panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia,
dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa
Toraja lainnya adalah Pong
Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya .
Kekuasaan
di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan
pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi
juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat,
praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan
desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan
kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan
menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.
Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda,
orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual
kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual
kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah
mulai jarang dilaksanakan.
Kemasyarakatan
Dalam Suku Toraja
Kelauarga
dalam masyarakat toraja memiliki kedudukan yang sangat penting merupakan
kelompok sosial dan
politik utama suku toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai
nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu
jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat
hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat
(sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah
penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam
artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam
ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap
orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian,
mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang
keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih
berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang
biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung. Dalam situasi
tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka
sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa
akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan
melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara
praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran
tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga
tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang
menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat
setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau
dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing
orang.
Budaya
Toraja masih mengenal yang dinamakan dengan sistem kelas sosial, Ada tiga
tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan
dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial
diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas
yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang
lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya.
Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan
hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum
bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat
jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk
kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh
menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam
keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang
mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status
keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status
seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung
berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak
dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang
Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi
budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan.
Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi
status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari
piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan
merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
Kebudayaan
Masyarakat Suku Toraja
Yang
menyebabkan suku toraja terkenal hingga ke berbagai penjuru dunia adalah karena
kebudayaannya yang terjaga, unik dan menarik. Bahkan Pemerintah Indonesia
menjadikan toraja sebagai salah satu ikon kebudayaan bangsa, wow. Apa sajakah
kebudayaan yang menarik dari suku toraja ini ? Mari kita baca dibawah ini :)
Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan
adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi
dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan"
berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan
merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan
tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena
itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan
hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan
pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun
ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan
tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan
bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat
kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan".
Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang
tertentu dalam dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal
di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin
berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang
menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang
biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar
Ukiran kayu
Bahasa
Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan
kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh
karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap
ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang
melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan
seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri
memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel
tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu
keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak,
sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam
kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak
bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan
untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan
air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk
menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan
dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel
di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam
sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan
abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam
ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku
Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku
Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
Upacara pemakaman
Tempat
penguburan Toraja yang diukir.
Dalam
masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan
yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang
bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa
hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang
rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat
lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh
keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan
dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi
semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang
kelas rendah.
Upacara
pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk
menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu
yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap
menuju Puya(dunia arwah,
atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa
helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap
tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan
melakukan perjalanan ke Puya.
Sebuah
makam.
Bagian
lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang
maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang,
menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja
percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan
lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan
puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi
musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu
panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena
hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga
cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu
berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam
batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar
beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah
seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan
menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi
tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan
membuat petinya terjatuh.
Musik dan Tarian
Suku
Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebutMa'badong). Ritual tersebut dianggap
sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman,
tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian
almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang,
prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen
lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah
dibawa dari lumbung padi menuju rante,
tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan
tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum
baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin
pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan
babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan
tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian
Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti
di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim
panen. Tarian Ma'bugidilakukan
untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang
menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian
diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur
kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting
ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon
suci.
Alat
musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang
enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini
dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku
jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan
dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Bahasa
Bahasa
Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai
dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah
bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun
diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam
bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk
dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya,
sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam
bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja,
beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses
transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab
utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.